Featured Video

Kamis, 26 Juni 2014

pneumotoraks

BAB I
PENDAHULUAN

Pneumotoraks didefinisikan sebagai keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura. Diperkirakan kejadian pneumotoraks berkisar antara 2,4-17,8 per 100.000 per tahun. dimana laki-laki lebih sering daripada wanita (4:1); paling sering pada usia 20­30 tahun.
Tekanan di rongga pleura pada orang sehat selalu negatif untuk dapat mempertahankan paru dalam keadaan berkembang. Kerusakan pada pleura parietal dan/atau pleura viseral dapat menyebabkan udara luar masuk ke dalam rongga pleura, sehingga paru akan kolaps. Paling sering terjadi spontan tanpa ada riwayat trauma; dapat pula sebagai akibat trauma toraks dan karena berbagai prosedur diagnostik maupun terapeutik. Dahulu pneumotoraks dipakai sebagai modalitas terapi pada TB paru sebelum ditemukannya obat anti tuberkulosis dan tindakan bedah dan dikenal sebagai pneumotoraks artifisial. Kemajuan teknik maupun peralatan kedokteran ternyata juga mempunyai peranan dalam meningkatkan kasus-kasus pneumotoraks antara lain prosedur diagnostik seperti biopsi pleura dan juga beberapa tindakan terapeutik seperti misalnya pungsi pleura, ventilasi mekanik,  dapat pula menjadi sebab terjadinya pneumotoraks (pneumotoraks iatrogenik).
Diagnosis pneumotoraks dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu radiologis yang memperlihatkan paru yang kolaps. Peranan pemeriksaan radiologi antara lain sebagai kunci diagnosis, penilaian luasnya pneumotoraks, dan evaluasi penyakit-penyakit yang menjadi dasar1.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Definisi
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura 2.

2.2  Insiden
Kejadian pneumotoraks pada umumnya sulit ditentukan karena banyak kasus-kasus yang tidak didiagnosis sebagai pneumotoraks karena berbagai sebab. Johnston & Dovnarsky memperkirakan kejadian pneumotoraks berkisar antara 2,4-17,8 per 100.000 per tahun. Beberapa karakteristik pada pneumotoraks antara lain: laki-laki lebih sering daripada wanita (4:1); paling sering pada usia 20­30 tahun. Pneumotoraks spontan yang timbul pada umur lebih dari 40 tahun sering disebabkan oleh adanya bronkitis kronik dan empisema. Lebih sering pada orang-orang dengan bentuk tubuh kurus dan tinggi (astenikus) terutama pada mereka yang mempunyai kebiasaan merokok. Pneumonotoraks kanan lebih sering terjadi dan pada kiri1.

2.3 Klasifikasi
Berbagai Klasifikasi pneumotoraks dapat dikemukakan antara lain:
1.    Menurut terjadinya;
a.       Pneumotoraks spontan
-          Primer: bila tidak dijumpai penyakit primer, biasanya pada laki-laki, muda, tinggi, kurus, merokok.
-          Sekunder: bila terdapat penyakit primer di paru, seperti PPOK, asma, sarkoidosis, TB, fibrosis paru idiopatik, dll.
b.      Pneumotoraks traumatik
Luka tusuk, fraktur iga, emfisema akibat pembedahan.
c.       Pneumotoraks artifisial
Pneumotoraks dipakai sebagai modalitas terapi pada TB paru sebelum ditemukannya obat anti tuberkulosis dan tindakan bedah.
d.      Pneumotoraks iatrogenik
Paling sering. Akibat biopsi paru, biopsi pleura, pungsi pleura, ventilasi mekanik, aspirasi dada, operasi toraks1,2,4.
2.    Menurut jenis fistulanya;
a.       Terbuka, bila robekan pleura viseralis tetap terbuka sehingga tekanan di dalam rongga pleura sama dengan tekanan udara luar. Dimana udara dapat keluar masuk ke dalam rongga pleura pada pernapasan (respirasi).
b.      Tertutup, bila robekan menutup setelah udara yang masuk cukup banyak sehingga tidak ada pergerakan udara pada pernapasan.
c.       Ventil atau valvular, bila terjadi mekanisme check valve dimana udara hanya dapat masuk ke rongga pleura pada inspirasi dan tidak dapat keluar pada ekspirasi.
Pada pneumotoraks ventil ini udara yang terperangkap dalam rongga pleura bertambah dengan cepat yang menyebabkan rongga pleura tersebut makin membesar, sehingga mendesak mediastinum serta pembuluh-pembuluh darah di situ dengan akibat gangguan sirkulasi; pneumotoraks ini disebut juga dengan tension pneumothorax1,2.
3.    Berdasarkan lokalisasi
a.       Pneumotoraks parietalis
b.      Pneumotoraks medialis
c.       Pneumotoraks basalis
4.    Perbedaan derajat kolaps
a.       Pneumotoraks totalis
b.      Pneumotoraks parsialis

2.4  Patofisiologi
Pada manusia normal tekanan dalam rongga pleura adalah negatif. Ketika udara masuk ke rongga pleura yang dalam keadaan normal bertekanan lebih rendah daripada tekanan atmosfer, paru akan kolaps sampai batas tertentu. Tetapi jika terbentuk saluran terbuka, maka kolaps masif akan terjadi sampai tekanan dalam rongga pleura sama dengan tekanan atmosfer. Mediastinum akan bergeser kearah paru yang kolaps dan dapat berpindah bolak-balik selama siklus pernapasan, sewaktu udara keluar masuk rongga pleura1,5.
Gambar 1. Patofisologi Pneumotoraks

 



2.5  Manifestasi Klinis
1.      Keluhan Subyektif
Gejala klinis pneumotoraks spontan bergantung pada ada tidaknya tension pneumotoraks serta berat ringan pneumotoraks. Pasien secara spontan mengeluh nyeri dan sesak napas yang muncul secara tiba-tiba. Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah:
-          Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien
-          Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien
-          Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien
-          Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10%3,6

2.      Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik mungkin dada tampak asimetris, suara fremitus menurun atau menghilang, perkusi hipersonor, dan suara napas menurun atau menghilang. Pneumotoraks  ukuran kecil biasanya hanya menimbulkan takikardi ringan dan gejala yang tidak khas. Pada pneumotoraks ukuran besar biasanya suara napas yang melemah bahkan menghilang pada auskultasi, fremitus menurun, dan perkusi hipersonor. Pneumotoraks tension dicurigai bila didapatkan adanya takikardi berat, hipotensi, dan pergeseran mediastinum atau trakea3,6.

3.      Pemeriksaan penunjang
Diagnosis pneumotoraks spontan dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik dan radiologis yang memperlihatkan paru yang kolaps.
Peranan pemeriksaan radiologi antara lain:
1.    Kunci diagnosis.
2.    Penilaian luasnya pneumotoraks.
3.    Evaluasi penyakit-penyakit yang menjadi dasar.
Dimana radiologis konvensional merupakan pilihan utama untuk mendeteksi dan mengevaluasi pneumotoraks. CT scan sangat berguna untuk mengevaluasi kasus sulit pada pneumotoraks dengan ukuran kecil pada pasien posisi supine1,6,7.
Gambar 2. Pneumotoraks



d.      Konvensional
Pada pneumotoraks yang sedang sampai berat foto konvensional (dalam keadaan inspirasi) dapat menunjukkan adanya daerah yang hiperlusen dengan pleural line di sisi medialnya; tetapi pada pneumotonaks yang minimal, foto konvensional kadang-kadang tidak dapat menunjukkan adanya udara dalam rongga pleura; untuk itu diperlukan foto ekspirasi maksimal, kadang-kadang foto lateral dekubitus.


Hinshaw merekomendasikan membuat foto pada 2 fase inspirasi dan ekspirasi, karena akan memberikan informasi yang lebih lengkap tentang:
-       Derajat/luasnya pneumotoraks.
-       Ada/tidaknya pergeseran mediastinum.
-       Menunjukkan adanya kista dan perlekatan pleura lebih jelas dari pada foto konvensional
Gambar 3. Fase Inspirasi
pada Pneumotoraks

Gambar 4. Fase Ekspirasi
pada Pneumotoraks












Pneumotoraks paling baik digambarkan dengan film dada dengan ketajaman rendah, sehingga hal-hal berikut dapat terlihat. Bayangan udara dalam rongga pleura memberikan bayangan radiolusen yang tanpa struktur jaringan paru (avascular pattern) dengan batas paru berupa garis radioopak yang tipis berasal dari pleura visceral. Jika pneumotoraks luas, akan menekan jaringan paru ke arah hilus atau paru menjadi kuncup/kolaps di daerah hilus dan mendorong mediastinum ke arah kontralateral. Selain itu sela iga menjadi lebih lebar1,4,8.
Gambar 5. Konvensional Pneumotoraks



e.       USG
Pneumotoraks dapat juga didiagnosis oleh USG. Udara di rongga pleura ditampilkan pantulan gelombang yang sangat tajam. Tidak seperti udara intrapulmoner, pantulan gelombang tidak bergerak saat respirasi. Bagaimanapun juga, luas pneumotoraks ditentukan dengan radiologis dada9.
Menggunakan Linear array transducer (Small parts/high frequency probe) dengan pasien dalam posisi supinasi, scan dipermukaan anterior dinding dada menarik garis sagital (longitudinal). Scan mulai dari anterior axillary line ke para sternal line.

Gambar 6 Anatomi Normal
Rib shadows (R) are visible as bright reflectors with distal shadow.
The Pleura (* *) is a bright echogenic line beneath the ribs.
Comet Tail artifacts (> arrows) arise from normal pleura reflecting sound waves.


Menggunakan video:
Gambar 7 Video Anatomi Normal
Lung sliding back and forth
Note the pleura moves with respect to the ribs
Comet tail artifacts
Gambar 8 Video Pneumotoraks
NO lung sliding back and forth
Note the pleura and ribs move together
NO comet tail artifacts

f.       CT Scan
Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan) mungkin diperlukan apabila dengan pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat ditegakkan. Pemeriksaan ini lebih spesifik untuk membedakan emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner serta untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer atau sekunder. Sensitivitas pemeriksaan CT-scan untuk mendiagnosis emfisema subpleura yang bisa menimbulkan pneumotoraks spontan primer antara 80-90%.
Dengan CT scan dapat melihat:
-          Kumpulan cairan dan udara dalam rongga pleura
-          Kemungkinan dapat dilihat fraktur iga yang menembus dada
-          Kemungkinan dapat dilihat kontusio dan laserasi paru
-          Injuri abdominal yang terkait
Pemeriksaan endoskopi (torakokopi) merupakan pemeriksaan invasif, tetapi memiliki sensivitas lebih besar dibandingkan pemeriksaan CT-scan3,7.
Gambar 10 CT Scan Pneumotoraks



2.6  Diagnosis Banding
Pneumotoraks dapat memberi gejala seperti infark miokard, emboli paru, dan pneumonia. Diagnosis banding lainnya yaitu:
-          Pleuritis dan perikarditis
-          Bronkitis kronis dan emfisema
-          Hernia diafragmatika
-          Dissecting aneurysma aorta
Pada pasien muda, tinggi, pria, dan perokok jika setelah difoto diketahui ada pneumotoraks, umumnya diagnosis kita menjurus ke pneumotoraks spontan primer. Pneumotoraks spontan sekunder kadang-kadang sulit dibedakan dengan pneumotoraks yang terlokalisasi dari suatu bleb atau bulla subpleura3.

2.7  Penatalaksanaan
Terapi tergantung berat ringan pneumotoraks dan penyakit mendasar.
Pneumotoraks spontan primer stabil
-          Kolaps paru kecil (<15-20%): observasi, suplemen O2 untuk mempercepat reabsorbsi
-          Kolaps luas dan ada keluhan: aspirasi, kateter toraks.
Pneumotoraks spontan sekunder
-          Kateter toraks
-          Torakoskopi dengan stapling bleb dan abrasi pleura atau pleurodesis dengan bahan sklerosing untuk mencegah relaps.
Pneumotoraks ventil
-          Dekompresi dengan jarum besar yang dimasukkan ke rongga pleura – midklavikula ruang antar iga 2 depan, dilakukan pemasangan kateter toraks
-          Setelah pemasangan kateter toraks 5-7 hari paru masih kolaps atau bronkopleura fistula menetap, dianjurkan torakoskopi/VATS
Analgetika untuk mengobati nyeri

2.8  Komplikasi
Pneumotoraks tension (terjadi pada 3-5% pasien pneumotoraks) dapat mengakibatkan kegagalan respirasi akut. Pio-pneumotoraks, hidro-pneumotoraks/hemo-pneumotoraks, henti jantung paru dan kematian (sangat jarang terjadi); pneumomediastinum dan emfisema subkutan sebagai akibat komplikasi pneumotoraks spontan, biasanya karena pecahnya bronkus, sehingga kelainan tersebut harus ditegakkan (insidensinya sekitar 1%),  pneumotoraks simultan bilateral (insidensinya sekitar 2%), pneumotoraks kronik (insidensinya sekitar 5 %), bila tetap ada selama waktu lebih dari 3 bulan3.

2.9  Prognosis
Baik, apabila segera dilakukan pertolongan dan pengobatan intensif, terutama yang mengenai penderita muda yang sehat. Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube toracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumotoraks yang dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak dijumpai komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan sekunder prognosisnya tergantung penyakit paru yang mendasari2,3.



BAB III
KESIMPULAN

Pneumotoraks didefinisikan sebagai keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura. Diperkirakan kejadian pneumotoraks berkisar antara 2,4-17,8 per 100.000 per tahun. dimana laki-laki lebih sering daripada wanita (4:1); paling sering pada usia 20­30 tahun.
Pada manusia normal tekanan dalam rongga pleura adalah negatif. Ketika udara masuk ke rongga pleura yang dalam keadaan normal bertekanan lebih rendah daripada tekanan atmosfer, paru akan kolaps sampai batas tertentu.
Diagnosis pneumotoraks dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu radiologis yang memperlihatkan paru yang kolaps. Dimana radiologis konvensional merupakan pilihan utama untuk mendeteksi dan mengevaluasi pneumotoraks. Sangat baik digambarkan dengan film dada dengan ketajaman rendah, sehingga bayangan udara dalam rongga pleura memberikan bayangan radiolusen yang tanpa struktur jaringan paru (avascular pattern), dengan batas paru berupa garis radioopak yang tipis berasal dari pleura visceral.
Prinsip-prinsip penanganan pneumotoraks observasi dan pemberian tambahan oksigen, aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi dengan atau tanpa pleurodesis, torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb atau bulla, serta torakotomi.
Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan mengalami kekambuhan. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien pneumotoraks yang dilakukan torakotomi terbuka atau pasien yang penatalaksanaannya cukup baik. Pasien pneumotoraks spontan sekunder prognosisnya tergantung penyakit paru yang mendasari.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Swidarmoko, Boedi. 1995. Penatalaksanaan Konservatif Pneumotoraks Spontan. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran No. 101
2.      RSUD dr. Soetomo. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: FK Unair.
3.      Barmawi Hisyam, Eko Budiono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
4.      Patel, Pradip R. 2005. Lecture Notes Radiology Edisi 2. Jakarta: Erlangga
5.      Price, sylvia Anderson, Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC
6.      R. Sjamsuhidajat, Wim De Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC
7.      Michael L. Grey, Jagan M. Ailinani. 2003. CT and MRI Pathology : A Pocket Atlas. USA: The McGraw-Hill Companies
8.      Kusumawidjaja, Kahar. 2009. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
9.      Schmidt, Guenter. 2006. Differential Diagnose in Ultrasound Imaging : A Teaching Atlas. New York: Thieme
10.  http://sinaiem.us/tutorials/pneumothorax




2 komentar:

  1. artikelnya sangat bermanfaat sekali gan :)

    http://obattradisional22.com/obat-tradisional-pneumotoraks/

    BalasHapus