Featured Video

Selasa, 09 April 2013

Asma Bronkial



Asma adalah penyakit saluran nafas dengan karakteristik berupa meningkatnya reaktifitas trakea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan sehingga terjadi penyempitan saluran nafas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan, peningkatan reaktivitas tersebut dihubungkan dengan proses inflamasi. Pada individu yang cenderung menderita penyakit ini, inflamasi ini menyebabkan episode mengi yang berulang, sesak nafas, rasa tegang di dada, serta batuk khususnya diwaktu malam dan/atau dini hari (1). Gejala ini berhubungan dengan penyempitan saluran nafas yang difus dengan derajat yang bervariasi dan bersifat reversibel baik dengan pengobatan maupun secara spontan (1-3). Inflamasi ini juga menyebabkan hipereaktivitas saluran nafas terhadap berbagai rangsang (1-2). Asma terjadi pada semua suku bangsa. Asma dapat terjadi pada semua usia walaupun faktor genetik merupakan predisposisi yang penting untuk terjadinya atopi dan juga asma, bukti yang menunjukkan prevalensi asma di negara-negara berkenbang diseluruh dunia diduga bahwa faktor lingkungan merupakan faktor yang lebih penting daripada faktor ras (1,6)


PATOGENESIS

Dahulu diakui yang berperan pada patogenesis asma adalah spasme otot polos bronkus yang disebabkan lepasnya mediator-mediator sel mast. Doktrin ini kemudian direvisi setelah diketahui bahwa inflamasi saluran nafas merupakan mekanisme utama yang bertanggung jawab terhadap hipereaktivitas saluran nafas, dan ternyata berbagai sel inflamasi terlibat pada patogenesis ini terutama limfosit dan eosinofil. Sel-sel inflamasi tersebut menghasilkan bermacam-macam mediator yang saling berinteraksi menimbulkan berbagai efek patologik yang bertanggung jawab terhadap hipereaktivitas saluran nafas dan gejala klinik asma. Inflamasi saluran nafas pada asma dibuktikan dari gambaran histopatologik mukosa bronkus dan gambaran sel pada kurasan bronkoalveolar (1).

Rangsangan atau pencetus yang sering menimbulkan serangan asma perlu diketahui dan sedapatnya dihindarkan. Faktor-faktor tersebut adalah :

1.      Alergen utama debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan.

2.      iritan seperti asap, bau-bauan, polutan.

3.      infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus.

4.      Perubahan cuaca yang ekstrim.

5.      Kegiatan jasmani yang berlebihan.

6.      Lingkungan kerja.

7.      Obat-obatan.

8.      Emosi.

9.      Lain-lain, seperti refluks gastro esophagus (2)


PATOFISIOLOGIS


Pada asma terdapat ketidakmampuan mendasar dalam mencapai angka aliran udara normal selama pernafasan (terutama pada ekspirasi). Hal ini dicerminkan dengan rendahnya FEV1, volume udara yang dihasilkan sewaktu usaha membuang nafas dengan paksa pada detik pertama dan diukur dengan parameter yang berhubungan. Karena banyak saluran udara yang menyempit tidak dapat dialiri dan dikosongkan dengan cepat, terjadi aerasi paru-paru yang tidak seimbang. Turbulensi arus udara dan getaran ke bronkus menyebabkan sura mengi yang terdengar jelas pada saat serangan asma. Penderita asma yang gelisah biasanya bernafas lebih cepat dari normal dan menghindarkan kegiatan yang tidak perlu. Dada mengambil posisi inspirasi maksimal yang mula-mula diperoleh secara volunteer dan membantu melebarkan jalan udara. Gambaran ini menetap disebabkan pengosongan alveoli yang tidak lengkap mengakibatkan hiperinflasi torak yang progresif.  Pada asma tanpa komplikasi, batuk hanya mencolok sewaktu serangan mereda, batuk membantu mengeluarkan sekret yang mengumpul.  Di antara serangan asma yang khas penderita bebas dari mengi dan gejala, walaupun reaktivitas bronkus meningkat dan kelainan pada ventilasi tetap dapat diperlihatkan dengan tehnik khusus. Pada keadaan asma kronik, masa tanpa serangan mungkin dapat menghilang, sehingga mengakibatkan keadaan asma yang terus menerus, sering disertai infeksi sekunder (4).

Ada 2 golongan penyakit obstruksi saluran nafas, yaitu :

a.       Asma atau penyakit obstruksi saluran nafas yang reversibel

b.      Penyakit obstruksi saluran nafas menahun yaitu bronkitis kronik dan emfisema.

Pada beberapa penderita, ketiga penyakit obstruksi saluran nafas tersebut sukar dibedakan satu dari yang lain karena semuanya mempunyai patofisiologi yang sama. Dari ketiga penyakit tersebut, asma bronkial mempunyai prognosis yang terbaik apabila ditangani dengan baik tetapi bila tidak, dapat menjadi penyakit obstruksi saluran nafas yang menahun. Pengertian bronkitis menahun merupakan diagnosis klinis, emfisema merupakan diagnosis anatomis dan asma lebih bersifat fisiologis (2).

Tabel 1. Sifat-sifat obstruksi saluran nafas (2)









                                                                   Asma            Bronkitis kronik         Emfisema


-          Reversibilitas                                         +                           -                           -

-          Alergi                                                     +                           +                          -

-          Hipereaktivitas bronkus                         +                           +                          -

-          Respon terhadap bronkodilator             +                           +                          +

-          Respon terhadap steroid                        +                           +                          -



GAMBARAN KLINIS

Pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, sedangkan pada waktu serangan tampak penderita bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan tangan menyangga ke depan serta tampak otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.

Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversible secara spontan ataupun dengan pengobatan. Gejala-gejala asma antara lain :

1.      Sesak.

2.      Bising mengi ( wheezing ) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop.

3.      Batuk produktif, sering pada malam hari.

4.      Nafas atau dada seperti tertekan.

Gejalanya bersifat paroksismal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada malam hari (5). Gejala-gejala tersebut tidak selalu terlihat bersama-sama. Ada penderita yang hanya batuk tanpa rasa sesak, atau sesak dan mengi saja (2).

Beratnya derajat serangan asma dibagi dalam serangan derajat ringan, sedang dan berat berdasarkan persentase APE nilai dugaan sesuai kriteria Global for Ashtma 1995 yaitu :

-           Serangan derajat ringan :  bila APE > 60% nilai dugaan

Serangan asma ringan

1.      Sesak nafas waktu berjalan,bisa berbaring                               

2.      Berbicara dalam kalimat penuh

3.      Frekwensi nafas meningkat

4.      Pemakain otot bantu nafas biasanya ada

5.      Mengi lemah sampai sedang

6.      Nadi <100x/menit

7.      Pulsus paradoksus tidak ada

8.      APE sesudah terapi awal >80%

9.      PaO2 normal

10.  PaCO2 <45 mmHg

11.  Saturasi O2 (udara biasa) >95%

-           Serangan derajat sedang : bila APE 40-60% nilai dugaan

Serangan asma sedang :

1.      alan terbatas , lebih suka duduk

2.      Berbicara kalimat terbatas

3.      Kesadaran biasanya agitasi

4.      Frekwensi nafas meningkat

5.      Pemakaian otot bantu nafas biasanya ada

6.      Mengi keras

7.      Nadi 100-120x/menit

8.      Pulsus paradoksus mungkin ada (10-25 mmHg)

9.      APE sesudah terapi awal 60-80%

10.  PaO2 >60mmHg

11.  PaCO2 < 45 mmHg

12.  Saturasi O2 91-95%


-          Serangan derajat berat : bila APE < 80% nilai dugaan, disertai gambaran asma akut berat yaitu :

1.      Sesak nafas walau diwaktu istirahat, hanya mampu mengucapkan beberapa kata, duduk membungkuk

2.      Kesadaran biasanya agitasi

3.      Frekwensi pernafasan > 30 x/menit

4.       Pemakaian otot bantu nafas biasanya ada, retraksi sentral

5.      Bising mengi terdengar sangat jelas

6.      Nadi > 120 x/menit

7.      Pulsus paradoksus sering ada > 25 mmHg

8.      APE sesudah terapi awal <60%, <100L/menit

9.      PaO2 < 60 mmHg

10.  PaCO2 > 45 mmHg

11.  Saturasi O2 < 90%

% APE nilai dugaan adalah nilai aktual Arus Puncak Respirasi (APE) saat serangan dibagi nilai APE dugaan sesuai jenis kelamin, umur (tahun), tinggi badan (cm) menurut tabel fungsi paru tim Pneumobile Project Indonesia 1992 (1,5).

Klasifikasi asma berdasarkan derajat beratnya asma (3,5):

1.      Intermiten

-          Gejala kurang dari satu minggu

-          Tanpa gejala di luar serangan

-          Serangan berlangsung singkat (beberapa jam sampai hari)

-          Gejala asma malam kurang dari dua kali perbulan

-          Faal paru normal antara eksaserbasi

-          VEP-1 atau APE:  lebih dari 80% nilai prediksi, variabilitas <20%

2.      Persisten Ringan

-          Gejala lebih dari atau sama dengan satu kali per minggu, tetapi kurang dari satu kali perhari

-          Serangan dapat menggangu aktifitas dan tidur

-          Gejala asma malam lebih dari dua kali per bulan

-          VEP-1 atau APE: lebih dari atau sama dengan 80% nilai prediksi, variabilitas 20-30%

3.      Persisten Sedang

-          Gejala harian

-          Menggunakan obat setiap hari

-          Serangan menggangu aktifitas dan tidur

-          Serangan 2 kali/minggu, dapat berhari-hari

-          Gejala asma malam lebih dari satu kali per minggu

-          VEP-1 atau APE: lebih dari 60% kurang dari 80% nilai prediksi, variabilitas >30%

4.      Persisten Berat

-          Gejala terus menerus

-          Serangan sering

-          Gejala asma malam sering

-          Aktivitas fisik terbatas

-          VEP-1 atau APE: kurang dari  60% nilai prediksi , variabilitas > 30%



PEMERIKSAAN PENUNJANG (3,5,6)


1.      Spirometri

Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible. Cara yang paling cepat dan sederhana untuk diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol golongan adrenergik.Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator >20% tidak berarti ada asma. Hal tersebut dapat dijumpai pada penderita yang sudah normal atau mendekati normal sehingga kenaikan FEV1 atau FVC tidak melebihi 20%. Respon mungkin juga tidak dijumpai pada obstruksi jalan nafas yang berat, oleh karena obat tunggal aerosol tidak cukup memberikan efek yang diharapkan. Untuk melihat reversibilitas pada hal yang akhir mungkin diperlukan pengobatan kombinasi adrenergik, teofilin dan bahkan kortikosteroid untuk 2-3 minggu. Reversibilitas dapat terjadi tanpa pengobatan yang dapat terlihat dari hasil pemeriksaan spirometri yang dilakukan pada saat yang berbeda-beda misalnya beberapa hari atau bulan kemudian. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.

2.      Tes provokasi bronkial

Indikasi provokasi inhalasi :

Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus dilakukan uji provokasi brobkus. Ada beberapa cara untuk melakukan uji provokasi brnkus seperti uji provokasi dengan histamine, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata. Penurunan VEP1 sebesar 20% atau lebih dianggap bermakna.

Antigen

-          Untuk menjelaskan peranan alergen spesifik pada asma

-          Apabila uji kulit tidak dapat dilakukan seperti pada penyakit kulit yang luas dan luka bakar

-          Untuk evaluasi efek terapeutik imunologis

-          Untuk evaluasi alergen baru atau allergen tidak dikenal yang diduga mempunyai peranan dalam penyakit paru

-          Untuk evaluasi efek obat dalam penghambatan kerja allergen

-          Untuk meyakinkan pasien tentang hubungan sebab akibat

            Metakolin, Karbakol, dan Histamin

Untuk mengidentifikasi pasien hipereaktivitas bronkus tanpa melihat sebab dan             untuk mengukur besarnya hipereaktivitas tersebut.

3.   Tes kepekaan kulit

                  Tujuan tes ini yaitu untuk menunjukkan adanya antibodi imunoglobulin E yang spesifik dalam tubuh. Tes ini hanya menyokong anamnesis, karena alergen yang menunjukkan tes kulit positif tidak selalu merupakan penyebab asma, sebaliknya tes kulit yang negatif tidak berarti ada faktor kerentanan kulit. Dengan berbagai bahan alergen dapat membantu untuk menetukan pada asma atopik.

4.         Pemeriksaan laboratorium :


  • Darah :            persentase eosinofil pada hitung jenis dan jumlah eosinofil           

yang meningkat, Imunoglobulin E yang spesifik.


  • Analisa gas darah: bila ada kecurigaan gagal napas

  • Dahak dan sekret hidung: pemeriksaan eosinofil, kristal Charcot leyden,

dan Spiral Curschmann

5.    Pemeriksaan radiologi :

*   Foto toraks : Umumnya pemeriksaan foto dada penderita asma adalah normal. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila ada kecurigaan terhadap proses patologik di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis dll

      *    Foto sinus paranasalis, jika asma tidak membaik


DIAGNOSIS (5,6)


1.      Anamnesis : keluhan sesak napas dengan napas bunyi ngiik yang sering kumat (adanya riwayat asma), riwayat penyakit alergik, dan keluarga yang menderita alergik (faktor keturunan) dapat memperkuat dugaan penyakit asma disertai adanya faktor pencetus serangan.

2.      Pemeriksaan fisik : penemuan pada pemeriksaan fisik tergantung derajat beratnya obstruksi jalan nafas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, takikardia, pernafasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada penderita asma dalam serangan.

3.      Laboraturium

Sputum: Kristal Charcot-Leyden, spiral Cruschman

Darah: jumlah Eo meningkat

4.      Pemeriksaan faal paru: Obstruksi saluran nafas (rasio FEV1/FVC < 75% atau PEF < 150 liter/menit).

5.      Tes provokasi bronkus, tes kepekaan kulit.


DIAGNOSIS BANDING (2)


1.      Bronkitis kronik

Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi hari, lama-lama disertai mengi dan menurunnya kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pulmonal.


2.      Emfisema paru

Sesak merupakan gejala utamanya dan jarang disertai mengi dan batuk. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma pada emfisema tidak pernah ada masa remisi, penderita selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada pemeriksaan fisis ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun dan suara sangat lemah. Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi.


3.      Gagal jantung kiri akut

Dulu disebut asma kardial, dan bila timbul pada malam hari disebutparoxysmal nocturnal dyspnoe. Penderita biasanya terbangun pada malam hari karena sesak dan apabila pasien duduk sesaknya berkurang atau menghilang. Selain ortopnea, pada pemeriksaan fisis ditemukan kardiomegali dan edema paru.

4.      Emboli paru

Yang dapat menimbulkan emboli paru adalah imobilisasi, gagal jantung, tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas, penderita batuk-batuk, yang dapat disertai darah, nyeri pleura keringat dingin, kejang dan pingsan. Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis dan hipertensi. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukan perubahan aksis jantung ke kanan.

5. Lain-lain penyakit yang jarang, seperti stenosis trakea, karsinoma bronkus,  poliarteritis nodusa.



KOMPLIKASI (2,6)          


1.      Infeksi saluran nafas

2.      Atelektasis

3.      Pneumotoraks, pneumomediastinum. Emfisema kutis

4.      Gagal nafas

5.      Aritmia ( terutama, bila sebelumnya ada kelainan jantung )



PENATALAKSANAAN


 Tujuan terapi asma adalah (3,5)  :


1.      Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma.

2.      Mencegah kekambuhan.

3.      Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta mempertahankannya.

4.      Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal termasuk melakukanexercise.

5.      Menghindari efek samping obat asma.

6.      Mencegah obstruksi jalan nafas yang ireversibel.

Tujuan penatalaksanaan eksaserbasi akut (5)

Makin sering eksaserbasi akut, akan meningkatkan kemungkinan terjadi remodeling saluran nafas dan meningkatkan keyakinan perburukan penyakit. Penatalaksanaan pada eksaserbasi akut bertujuan :

1.      Menghilangkan obstruksi secepat mungkin

2.      Menghilangkan hipoksemi

3.      Mengembalikan faal paru ke normal secepat mungkin

4.      Mencegah kekambuhan

Serangan asma berat dapat menimbulkan kematian, terutama bila terlambat ditanggulangi atau penanggulangan yang tidak adekuat. Resikoini juga meningkat bila ada komplikasi. Faktor yang meningkatkan resiko kematian pada asma adalah :

-          Riwayat gagal nafas dan pemasangan intubasi

-          Pemakaian steroid sistemik

-          Kunjungan ke gawat darurat/perawatan karena asma

-          Penatalaksanaan asma yang tidak adekuat

-          Depresi berat dan atau masalah psikososial


Tabel 2. Pengobatan asma jangka panjang berdasarkan berat penyakit (3,5)




























Derajat Asma

Obat Pengontrol (harian)

Obat Pelega

Asma Intermiten

-          Tidak perlu

-          Bronkodilator singkat, yaitu inhalasi agonis beta2 bila perlu

-          Intensitas pengobatan tergantung beratnya serangan

-          Inhalasi agonis beta2 atau Na-kromolin dipakai sebelum aktivitas atau pajanan allergen

Asma Persisten Ringan

-          Inhalasi kortikosteroid 200-500mg/Na- kromolin/ nedrokromil atau teofilin lepas lambat

-          Dosis kortikosteroid dapat dinaikkan menjadi 800 mg atau ditambahkan bronkodilator kerja panjang (oral atau hirup) 

-          Inhalasi agonis beta2 aksi singkat bila perlu dan tidak melebihi 3-4 kali sehari.

Asma Persisten Sedang

-          Inhalasi kortikosteroid 800-2000 mcg

-          Bronkodilator aksi lama terutama untuk untuk mengontrol asma malam, berupa agonis beta 2 aksi lama inhalasi, oral atau teofilin lepas lambat

-          Inhalasi agonis beta2 hirup aksi singkat bila perlu dan tidak melebihi 3-4 kali sehari

Asma Persisten Berat

-          Inhalasi kortikosteroid 800-2000 mcg atau lebih

-          Bronkodilator aksi lama, berupa agonis beta2 inhalasi atau oralatau teofilinlepas lambat

-          Kortikosteroid oral jangka panjang

Agonis beta 2 hirup (kerja pendek) bila ada gejala

Obat-obat anti asma (5)

1.      Bronkodilator

a.       Agonis b2

Obat ini mempunyai efek bronkodilatasi. Terbutalin, salbutamol, dan fenetranol memiliki lama kerja  4-6 jam, sedangkan agonis b2long-acting bekerja lebih dari 12 jam, seperti salmeterol, formoterol, bambuterol dan lain-lain. Bentuk aerosol dan inhalasi memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan dosis yang jauh lebih kecil yaitu sepersepuluh dosis oral dan pemberiannya lokal.

b.      Metilxantin

Teofilin termasuk golongan ini. Efek bronkodilatornya berkaitan dengan konsentrasinya di dalam serum. Efek samping obat ini ditekan dengan pemantauan kadar teofilin serum dalam pengobatan jangka panjag.

c.       Antikolinergik

Golongan ini merupakan tonus vagus intinnsik dari saluran napas.


2.      Anti inflamasi

Antiinflamasi menghambat inflamasi jalan napas dan mempunyai efek supresi dan profilaksis.

a.       Kortikosteroid

b.      Natrium kromolin (sodium cromoglycate) merupakan antiinflamasi nonsteroid.

Tabel 3  Terapi serangan asma akut (5)





























BERATNYA SERANGAN

TERAPI

LOKASI

RINGAN

-          Aktivitas hampir normal.

-          Bicara dalam kalimat penuh.

-          Denyut nadi <100/menit

-          (APE>60%)

Terbaik:

-          Agonis Beta2 isap (MDI) 2 isap boleh diulangi 1 jam kemudiqan atau tiap 20 menit dalam 1jam

Alternatif:

-          Agonis beta2 oral dan atau 3x1/2 –1 tablet (2mg)  oral

-          Teofilin 75-150 mg

-          Lama terapi menurut kebutuhan

-          Di rumah

SEDANG

-          Hanya mampu berjalan jarak dekat

-          Bicara dalam kalimat terputus-putus

-          Denyut nadi 100-120/menit

-          (APE 40-60%)


Terbaik:

-          Agonis Beta-2 secara nebulisasi 2,5 –5mg, dapat diulangi sampai dengan 3 kali dalam 1jam pertama dan dapat dilanjutkan setiap 1-4 jam kemudian


-          Puskesmas

-          Klinik rawat jalan

-          Unit Gawat Darurat

-          Praktek dokter umum

-          Dirawat RS bila tidak respons dalam 2-4 jam

BERAT

-          Sesak pada istirahat

-          Bicara dalam kata-kata terputus

-          Denyut nadi >120 L/menit

-          (APE < 40% atau 100L/menit)

Terbaik:

-          Agonis beta-2 secara nebulisasi dapat diulangi s.d 3kalidalam 1jam pertama selanjutnya dapat diulangi setiap 1-4 jam kemudian

-          Teofilin iv dan infus

-          Steroid iv dapat diulang/ 8-12jam

-          Agonis beta 2 sk/iv /6jam

-          Oksigen 4 liter/menit

-          Pertimbangkan nebulisasi ipratropiumbromide 20 tetes


-          Unit Gawat Darurat

-          Rawat bila tidak ada responns dalam 2 jam maksimal 3 jamm

-          Pertimbangkan rawat ICU bila cenderung memburuk Progresif

MENGANCAM JIWA

-          Kesadaran menurun

-          Kelelahan

-          Sianosis

-          Henti napas

Terbaik:

-          Lanjutkan terapi sebelumnya

-          Pertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik

-          Pertimbangkan anastesi umum untuk terapi pernapasan intensif. Bila perlu dilakukan kurasan bronco alveolar (BAL)

-          ICU



Terapi awal yaitu (5)

1.      Oksigen 4-6 liter /menit

2.      Agonis b2 (salbutamol 5mg atau feneterol 2,5 mg atau terbutalin 10mg) inhalasi nebulasi dan pemberiannya dapat diulang setiap 20 menit sampai 1 jam. Dapat diberikan secara subkutan atau iv dengan dosis salbutamol 0,25 mg atau terbutalin 0,25 mg dalam larutan dextrose 5% dan diberikan perlahan.

3.      Aminofilin bolus iv 5-6 mg/kg BB, jjikasudah menggunakan obat ini dalam 12jam sebelumnya cukup diberikan setengah dossis

4.      Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg iv jika tidak ada respon segera atau pasien sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.

Respon terhadap terapi awal baik, jika didapatkan keadaan berikut :

1.      Respon menetap selama 60 menit setelah pengobatan.

2.      Pemeriksaan fisik normal.

3.      Arus puncak ekspirasi (APE) >70%.

Jika respon tidak ada atau tidak baik terhadap terapi awal maka sebaiknya pasien dirawat di rumah sakit.

Terapi asma kronik adalah sebagai berikut

1.      Asma ringan: agonis b2 inhalasi bila perlu atau agonis  b2 oral sebelumexercise atau terpapar allergen.

2.      Asma sedang: antiinflamasi setiap hari dan agonis b2 inhalasi bila perlu.

3.      Asma berat: steroid inhalasi setiap hari, teofilin slow release atau agonis blong acting, steroid oral selang sehari atau dosis tunggal harian dan agonis b2 inhalasi sesuai kebutuhan.

Penatalaksanaan yang baik dapat membuat asma menjadi terkontrol yaitu gejala penyakit berkurang dan faal paru menjadi optimal, criteria asma yang terkontrol adalah (5) : 

1.         Gejala klinik menghilang atau minimal termasuk gejala asma malam

2.         Eksaserbasi jarang

3.         Kebutuhan b2-agonis minimal

4.         Aktivitas tidak terganggu

5.         Variasi APE < 15%

6.         Efek samping obat tidak ada / minimal

7.         Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat.



DAFTAR PUSTAKA


1.    Dja’man Saleh Y, Mangunnegoro H, Hudoyo A, dkk, Kadar Eosinofil pada Sputum Penderita Asma Bronkhial Dalam Serangan Di rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan  Jakarta. Jurnal Respirologi Indonesia 1998; 18:p.5-6

2.    Bratawijdaya, Karnen. Asma Bronkhial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi III, BP FKUI, Jakarta, 2006; hal 21-32

3.    Yunus, Faisal. Penatalaksanaan Asma Bronkhial Masa Kini. Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 46, Nomor : 10, Oktober 1996.

4.    Solomon, William R. Ashma bronkhial : Alergi dan lain-lain. In: Price sylvia A, Wilson Lorraine M. Editor. Patofisiologi Buku I. Edisi IV. Jakarta : EGC; 2006. hal 784-785

5.    Yunus, Faisal. Penatalaksanaan Eksaserbasi Akut Asma. Pertemuan Ilmiah Khusus PPOK Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Semarang 


6.    Sukmana Nanang. Asma Bronchial. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, Agustus, 2001

0 komentar:

Posting Komentar